Sedekah merupakan amalan yang mulia. Banyak perintah baik dari Al-Quran maupun hadis yang mendorong untuk bersedekah. Tapi bagaimana jika sedekah yang diberikan ternyata tidak tepat sasaran, artinya tidak sesuai dengan niat yang dimaksudkan? Terkait hal ini, ada sebuah kisah menarik tentang bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merespon masalah ini.
Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas radhiyallahu ‘anhum (Ma’an, Ayah dan juga kakeknya termasuk sahabat Nabi) ia berkata,
وَكَانَ أَبِي يَزِيدُ أَخْرَجَ دَنَانِيرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ وَاللَّهِ مَا إِيَّاكَ أَرَدْتُ فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ
Suatu hari bapakku, Yazid mengeluarkan dinar untuk dishadaqahkan, lalu dia meletakkannya di samping seseorang yang berada di masjid. Kemudian aku datang, aku ambil dan aku bawa kepadanya, lalu bapakku berkata,: “Demi Allah, bukan kamu yang aku tuju”. Lalu masalah ini aku adukan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, maka Beliau berkata,: “Bagimu apa yang sudah kamu niatkan wahai Yazid, sedangkan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma’an”. (HR. Bukhari no. 1422)
Kisah di atas menceritakan bahwa ayah ma’an yaitu Yazid bermaksud mengeluarkan sedekah untuk orang fakir. Lantas Ma’an datang mengambil sedekah itu. Bisa jadi orang yang dititipi dana sedekah di masjid tidak tahu bahwa yang mengambil uang tersebut adalah anaknya Yazid. Atau mungkin orang tersebut memandang bahwa Ma’an termasuk di antara yang berhak menerima sedekah. Yazid yang mengetahui hal ini kemudian menyangkal bahwa ia tidak bermaksud memberikan sedekah tersebut untuk anaknya. Lalu Ma’an mengadukan perkara ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau pun bersabda,
لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ
“Untukmu apa yang sudah kamu niatkan wahai Yazid, dan untukmu apa yang telah kamu ambil wahai Ma’an”.
Beberapa Pelajaran dari Hadis
Ketika menjelaskan hadis tersebut, Syeikh Ibnu Utsaimin menyebutkan beberapa pelajaran yang bisa diambil dari kisah yang melibatkan ayah dan anak ini. (Syarh Riyadhus Shalihin hal. 39-41)
- Hadis di atas menunjukkan bahwa setiap amalan tergantung pada niatnya. Ketika seseorang telah meniatkan sesuatu yang baik, maka ia akan memperoleh hasilnya. Dalam kasus tersebut, Yazid tidak bermaksud agar uang sedekah yang ia berikan diambil oleh anaknya. Namun ternyata anaknya mengambil sedekah tersebut dan ia termasuk golongan yang berhak menerima sedekah. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meresponnya dengan mengatakan bahwa Yazid tetap mendapatkan apa yang ia niatkan, dan Ma’an tetap berhak mendapatkan sedekah yang sudah ia ambil.
- Hadis tersebut menjadi kaidah bahwa setiap amalan seseorang akan diberi ganjaran sesuai dengan yang ia niatkan, meskipun realita yang terjadi ternyata tidak sesuai dengan apa yang ia niatkan.
Sebagai contoh lain misalnya, ketika seseorang memberikan zakat kepada orang yang awalnya ia anggap berhak menerima zakat, tetapi kemudian ia tahu bahwa orang tersebut ternyata berkecukupan dan tidak pantas menerima zakat, maka zakat tersebut tetap sah dan kewajibannya mengeluarkan zakat telah gugur. Karena awalnya ia bermaksud memberikan zakat kepada yang berhak menerima, maka ia mendapat ganjaran sesuai yang ia niatkan.
Hadis ini juga memberikan beberapa faidah lain dalam pembahasan fikih, di antaranya:
- Seseorang boleh memberikan sedekah kepada anaknya. Dasarnya adalah sebuah hadis yang menceritakan bahwa Zainab – istri Abdullah bin Mas’ud – pernah bermaksud mengeluarkan sebagian hartanya untuk sedekah. Suaminya, Abdullah bin Mas’ud yang mengetahui hal ini kemudian berkata kepadanya, “Aku dan anakmu lebih berhak menerima sedekah itu darimu”. Lantas Zainab mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkait hal ini dan beliau menjawab, صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ “Ibnu Mas’ud benar, suamimu dan anak-anakmu lebih barhak kamu berikan sedekah daripada mereka”. (HR. Bukhari no. 1462)
- Seseorang boleh memberikan zakat kepada anaknya dengan syarat tidak dimaksudkan untuk menggugurkan kewajiban nafkah. Namun jika seseorang memberikan zakat yang dimaksudkan pula untuk nafkah, maka hal ini tidaklah sah karena berarti ia berniat menggugurkan yang wajib. Adapun jika seorang ayah bermaksud memberikan zakat untuk melunasi hutang anaknya, maka hal ini dibolehkan karena anaknya adalah anggota keluarga yang paling dekat dengan dirinya dan lebih pantas menerima zakat.